Salah satu program Pemerintah Kota Semarang yang digagas oleh Bapak Sukawi Sutarip adalah pendidikan gratis. Suatu program yang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi positif dan sisi negatif. Seperti dua belah mata pisau, bisa menguntungkan atau bahkan merugikan untuk dunia pendidikan.
Dilihat dari sisi positif, program ini menjadi penawar dahaga untuk kaum miskin yang kesulitan memenuhi biaya pendidikan. Beban hidup yang semakin berat sedikit terkurangi oleh program ini. Besarnya biaya pendidikan yang selama ini mereka keluarkan baik itu Sumbangan Institusi Pendidikan (SPI), Sumbangan Pembangunan Pendidikan (SPP) atau Uang Komite Sekolah tidak lagi menjadi beban hidup. Semua ditanggung oleh Pemerintah Kota Semarang. ”Mengacu pada Undang-Undang Dasar (UUD) 45 bahwa tugas pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya”, demikian pendapat mereka.
Di samping sisi positif, program sekolah gratis menuai pula sisi negatif. Hal ini dikarenakan 5 alasan, yaitu :
1. Program beasiswa belum menjamin terjadinya peningkatan mutu pendidikan.
Beasiswa yang dikucurkan oleh Pemerintah Kota Semarang untuk siswa bertujuan sangat mulia yaitu membantu meringankan beban masyarakat. Akan tetapi tujuan yang baik dari pemerintah ini tidak didukung oleh masyarakat dan siswa itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari siswa yang mendapat beasiswa tidak lebih baik daripada siswa yang tidak mendapat beasiswa bahkan sebaliknya. Sepanjang pengamatan penulis, dari segi prestasi dan kedisiplinan, siswa yang mendapat beasiswa justru lebih jelek dibanding yang tidak mendapat beasiswa. Topangan beasiswa tidak mendorong mereka untuk lebih berprestasi. Hal ini disebabkan karena perekrutan siswa untuk mendapat beasiswa lebih banyak didasarkan karena mereka miskin (syarat mendapatkan beasiswa salah satunya adalah mempunyai kartu miskin) bukan karena berprestasi. Harusnya prioritas utama adalah miskin dan berprestasi.
2. Pendidikan bukan prioritas utama
Masyarakat masih memandang pendidikan sebagai paradigma sosial. Sehingga cuma ada satu jalur yaitu bahwa pendidikan adalah hak bukan kewajiban. Pandangan ini mengakibatkan prioritas utama masyarakat adalah memenuhi kebutuhan lain selain pendidikan. Fenomena ini dapat dilihat ditengah masyarakat. Mereka lebih memprioritaskan membeli kebutuhan sekunder seperti televisi misalnya dibanding untuk membayar uang sekolah. Tunggakan SPP berbulan-bulan tidak menjadi masalah dibanding tidak punya baju yang bagus. Membeli pulsa HP menjadi suatu kebutuhan dibanding untuk membayar buku sekolah. Kalau boleh dilogikakan, uang SPI yang katanya mahal sebetulnya lebih murah dibanding harga HP dan pulsanya tiap bulan. Katakan misal besarnya uang SPI Rp. 2.000.000, uang ini digunakan untuk 36 bulan, jadi dalam satu bulan orang tua hanya dibebani kurang lebih Rp. 55.000. Sementara untuk membeli HP dan pulsanya orang tua akan akan mengeluarkan uang sebanyak Rp. 64.000. Sebagai contoh harga HP Samsung SGH adalah Rp. 500.000, untuk 36 bulan, maka satu bulan akan keluar uang Rp. 14.000 ditambah harga pulsa Rp. 50.000 tiap bulan sehingga total uang keluar Rp. 64.000. Jadi uang untuk pemakaian HP dalam satu bulan lebih mahal Rp. 9.000 dibanding uang SPI. Sepanjang pengamatan penulis, banyak siswa yang mendapat beasiswa justru mempunyai HP yang cukup canggih dengan pemakaian pulsa yang cukup tinggi tiap bulannya.
3. Kesejahteraan guru dan karyawan akan menurun.
Di lingkungan sekolah ada tiga jenis pegawai, yaitu PNS, Tenaga Kontrak dan Pegawai Tidak Tetap. Gaji PNS dan tenaga kontrak dibayar oleh pemerintah sementara gaji Pegawai Tidak Tetap dibayar dari uang komite sekolah. Pembebasan uang sekolah akan menyebabkan komite sekolah tidak mempunyai uang untuk membayar gaji PTT dan GTT. Padahal banyak sekolah negeri yang mempunyai PTT dan GTT cukup banyak. Sehingga muncul pertanyaan darimana uang untuk membayar gaji mereka. Kalau misalnya nanti gaji mereka ditanggung oleh pemerintah, apakah sudah ada alokasi dana ke arah itu. Biasanya persetujuan alokasi dana membutuhkan birokrasi yang cukup panjang sementara tuntutan membayar gaji tidak bisa menunggu pengetokan palu persetujuan. Hal ini perlu dipikirkan karena ini menyangkut nasib GTT dan PTT. Jangan kebijakan hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain.
4. Biayanya operasional sekolah akan terganggu.
Kelancaran Kegiatan belajar mengajar di sekolah banyak ditopang oleh operasional biaya yang lancar. Selama ini operasional sekolah untuk mendukung KBM lebih banyak diperoleh dari orang tua. Sehingga ketika sekolah digratiskan apakah sekolah tidak kalang kabut untuk menutup biaya operasional sekolah ? Yang kemudian akan mengganggu kegiatan belajar mengajar ? Yang justru akan menurunkan mutu pendidikan ?
5. Sekolah gratis tidak membuat masyarakat dewasa
Ketika pemerintah meluncurkan program Bantuan Tunai Langsung (BTL), yang terjadi bukan membantu masyarakat justru sebaliknya mengakibatkan masyarakat sangat tergantung dengan bantuan itu. Mereka tidak berusaha sendiri memenuhi kebutuhan hidupnya malah justru menunggu bantuan cair. Padahal menurut pepatah, akan lebih baik memberi kail dan umpannya daripada memberi mereka ikan.
Program sekolah gratis akan menyebabkan masyarakat tidak merasa memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan belajar anaknya di sekolah karena mereka tidak mempunyai kewajiban untuk membayar uang sekolah. Ini justru akan kontra produktif untuk kemajuan pendidikan.
Dari pemaparan di atas, program sekolah gratis menurut hemat penulis lebih banyak sisi negatifnya dibanding sisi positifnya. Alangkah lebih baik jika program yang dilaksanakan adalah memberi beasiswa yang bertanggung jawab. Artinya beasiswa itu sebagai hutang yang harus dilunasi ketika mereka sudah bekerja, jadi ada pertanggungjawaban. Ini sekedar wacana. Terima kasih.
Kamis, 06 Desember 2007
PENDIDIKAN GRATIS, MAU UNTUNG ATAU BUNTUNG ?
Posted by ARDAN SIRODJUDDIN BLOG on 14.24
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Saya setuju dengan pendapat Bapak, lebih baik acuan beasiswa adalah berprestasi baru miskin
1. Saya kira, kemiskinan harus tetap menjadi pertimbangan utama. Prestasi adalah faktor kedua. Bila dana beasiswa tidak bisa meng-cover semua warga tidak mampu, barulah prestasi dijadikan bahan pertimbangan tambahan. Sebab, pendidikan adalah hak setiap warga negara. Bukan hanya warga negara berprestasi.
2. Berarti mereka tidak miskin. Artinya ini ada kesalahan dalam pendataan. Kok bisa membeli hp, tapi mendapat kartu miskin?
3 & 4
Seharusnya pemerintah membuat sistem untuk mengatasi pemenuhan berbagai kebutuhan pendidikan dengan cepat. Potong jalur birokrasi adalah salah satunya.
Selama hal itu masih belum terlaksana, SPP bisa dijadikan jalan keluar SEMENTARA. Tapi, SPP harus lebih banyak diatur oleh pemerintah. Jangan dibiarkan berkembang seenaknya. Masalah besarnya SPP misalnya, yang selama ini diputuskan berdasarkan musyawarah antara pihak sekolah, komite sekolah, dan orang tua murid.
Yang terjadi selama ini, sejauh pengamatan saya, sekolah-sekolah negeri berkualitas otomatis menjadi rebutan orang tua murid. Semakin favorit sebuah sekolah, semakin tinggi SPP-nya. Entah apa yang terjadi dalam musyawarah penentuan besarnya SPP antara sekolah dan orang tua murid, sehingga sekolah favorit selalu lebih mahal ketimbang sekolah yang tidak difavoritkan. Belum lagi, tiap tahun cenderung meningkat.
Akhirnya, yang terjadi seolah hukum pasar (supply and demand) berlaku. Semakin banyak peminat suatu sekolah, semakin tinggi biaya sekolahnya. Dana operasional yang subur demi kelancaran penyelenggaraan pendidikan dan kesejahteraan penyelenggara pendidikan, itu tak menjadi masalah. Bagus malah.
Yang menjadi masalah adalah sistem ini mengunci akses bagi masyarakat miskin tidak pintar untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Secara tidak langsung sekolah ikut secara terstruktur menganiaya warga miskin menjadi tetap miskin.
Anak pintar dari keluarga miskin mungkin bisa mendapat beasiswa. Tapi bagaimana nasib warga miskin dengan otak pas-pasan? Apakah mereka lebih tidak berhak mendapat pendidikan berkualitas?
Keluarga kaya mampu menyekolahkan anak berkecerdasan rendah di sekolah swasta berkualitas (baca; mahal). Tapi bagi mereka yang miskin? Tak ada pilihan lain kecuali memasukkan anak ke sekolah negeri non-favorit dengan segala keterbatasan fasilitas dan sumber daya guru yang kalah kualitas dari sekolah favorit.
Akhirnya, anak miskin bodoh dididik dengan kualitas pendidikan yang rendah. Itu pun masih lebih baik ketimbang anak miskin bodoh yang tak mampu disekolahkan di sekolah negeri murah sekalipun. Hasilnya, keluarga miskin tetap miskin karena tak bisa keluar dari lingkaran kebodohan. Semua paham, ijazah sekolah negeri berkualitas diterima lebih mudah oleh perusahaan. Sepintar apapun seorang anak, ijazah dari sekolah negeri yang tidak favorit akan dipandang sebelah mata oleh perusahaan. Apalagi yang tidak bersekolah sehingga tak punya ijazah. Untuk mendapatkan pekerjaan kasar di pabrik pun langsung gagal seleksi.
Ini juga tidak adil bagi sekolah non-favorit. Sekolah favorit mampu meraup dana masyarakat lebih besar. Sehingga mampu mengembangkan fasilitas pendidikan lebih cepat dan kesejahteraan penyelenggara sekolah yang lebih terjamin. Itulah mengapa jarang sekolah non-unggulan berubah menjadi favorit.
Mungkin sebaiknya pemerintah menetapkan batas atas SPP yang dihitung berdasarkan kemampuan ekonomi rata-rata warga suatu wilayah. Bagi mereka yang berada di bawah rata-rata kemampuan ekonomi warga, diberikan beasiswa (tanpa memandang berprestasi atau tidak). Dengan demikian tidak boleh lagi ada yang putus sekolah, setidaknya pendidikan dasar, dengan alasan apapun.
5. Saya kira paham sekolah gratis tidak membuat masyarakat dewasa adalah paham yang fatal. Melalui berbagai iklan di televisi, pemerintah memang sering menuding beasiswa atau subsidi lainnya sebagai cara yang tidak mendidik. Padahal subsidi adalah salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup warga.
Sejumlah negara makmur menggratiskan pendidikan bagi warganya. Jerman, misalnya. Seluruh biaya pendidikan ditanggung pemerintah, setinggi apapun kemauan dan kemampuan warga bersekolah. Silakan studi banding, apakah warga Jerman menjadi lebih tidak mandiri dari warga Indonesia?
Logika BLT (bukan BTL) tidak sama dengan beasiswa. BLT menjadi salah karena penerima sebagian besar adalah warga berpendidikan rendah yang "diracuni" setiap hari oleh promosi budaya konsumtif di berbagai media. Pendidikan gratis tidak akan membuat seseorang menjadi konsumtif.
***
Terima kasih sudah mendidik anak-anak kita.
Salam dari Jakarta,
Zaky Muzakir
Posting Komentar