Sebagai ucapan terima kasih pengunjung atas artikel yang telah dibaca dari blog ini, silahkan beri dukungan dengan mengklik link dukungan pada widget di bawah. terima kasih

Jumat, 26 Oktober 2007

KEKERASAN TERHADAP ANAK

I. Latar Belakang Masalah
Kekerasan terhadap anak ternyata masih terus terjadi. Awal Januari 2006 masyarakat dikejutkan kejadian tragis di Serpong, Tangerang. Indah (3 tahun) dan Lintar (1 tahun) dibakar oleh Yeni, ibu kandung mereka yang mengaku kesal karena tekanan ekonomi dan kebiasaan suaminya mabuk-mabukkan. Setelah dirawat sembilan hari, Indah meninggal sedangkan Lintar membaik dan sudah pulang dari rumah sakit. (Kompas edisi Selasa tanggal 24 Januari 2006).
Indah dan Lintar hanyalah contoh kecil anak-anak yang masa kecilnya ternoda oleh kekerasan yang dilakukan orang tua, kerabat dan masyarakat. Setiap hari ratusan ribu bahkan jutaan anak Indonesia mencari nafkah di terik matahari, di kedinginan malam, atau di tempat-tempat yang berbahaya. Setiap hari di Indonesia ada anak yang disiksa orangtuanya atau orang yang memeliharanya. Setiap malam, di antara gelandangan ada saja gadis-gadis kecil yang diperkosa preman jalanan. Setiap menit ada saja anak Indonesia yang ditelantarkan orangtuanya karena kesibukan karier, kemiskinan, atau sekedar egoisme. Mereka tidak masuk koran karena mereka tidak mati tiba-tiba. Umumnya mereka mati perlahan-lahan. Mereka tidak muncul dalam media karena perlakuan kejam yang mereka terima tidak dilaporkan polisi.
Tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak masih sering terjadi. Data laporan K3JHAM selama tahun 2000 di Kota Semarang terjadi 29 kasus perkosaan yang terpublikasi, jumlah tersebut terbesar terjadi di antara 29 kabupaten/kota di Jawa Tengah yang terlaporkan perempuan. Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terpublikasi 26 kasus. Demikian juga kasus kekerasan terhadap anak secara kualitatif dilaporkan oleh Unicef sering terjadi di Kota Semarang baik di rumah, di sekolah maupun di komunitas. (www.semarang.go.id edisi Kamis, 06 Juli 2006).
II. Definisi Kekerasan
Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan secara sengaja kekuatan fisik atau kekuatan, ancaman atau kekerasan aktual terhadap diri sendiri, orang lain, atau terhadap kelompok atau komunitas, yang berakibat luka atau kemungkinan besar bisa melukai, mematikan, membahayakan psikis, pertumbuhan yang tidak normal atau kerugian. (Kusworo, Danu. 2006 : 1).
Penggunaan kata kekuasaan di dalam definisi kekerasan bertujuan untuk memperluas pemahaman tentang kekerasan dan memperluas pemahaman konvensional tentang kekerasan dengan memasukkan juga tindakan-tindakan kekerasan yang merupakan hasil dari relasi kekuasaan, termasuk di dalam ancaman dan intimidasi.
Penggunaan kata perbuatan secara tidak sengaja dalam definisi kekerasan dengan maksud adalah sengaja berbuat kekerasan tidak selalu sejalan dengan perbuatan yang tujuannya adalah sengaja untuk menimbulkan kesakitan. Dengan kata lain, perbuatan yang disengaja tidak selalu sejalan dengan hasil yang memang direncanakan dari awal. Sebagai contoh orang tua yang mengguncang bayinya yang menangis terus mungkin tidak bermaksud menyakiti anaknya, tetapi akibatnya dapat merusak otak bayi.
Persoalan lain adalah membedakan niat untuk melukai dan niat menggunakan kekerasan. Kekerasan yang ditetapkan secara budaya sering terjadi di masyarakat. Beberapa orang bertujuan melukai orang lain, tetapi karena latar belakang budaya mereka tidak merasa bahwa perbuatan itu adalah tindak kekerasan. Beberapa masyarakat menganggap bahwa memukul anggota keluarga lainnya, perempuan dan anak-anak sebagai tindakan yang secara budaya bisa diterima, tetapi WHO memasukkan tindakan ini sebagai tindakan kekerasan karena dampaknya terhadap kesehatan individu. (Kusworo, Danu. 2006 : 1).

III. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Yang termasuk dalam lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini pasal 2 ayat 1 meliputi :
a. Suami, istri dan anak-anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar, dan besan; dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).
Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga menurut undang-undang ini pasal 5 antara lain :
a. Kekerasan Fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (pasal 6)
b. Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan /atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7)
c. Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual secara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain dengan tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. (pasal 8).
d. Penelantaran Rumah Tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9).


IV. Perlindungan Terhadap Anak
Berdasarkan Undang Perlindungan Anak pada Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 ayat 1, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Menurut hasil Sensus Penduduk tahun 2000, yang kami kutip dari Buku Ringkasan Eksekutif Program Nasional Bagi Anak Indonesia, proporsi jumlah anak dan remaja berusia 0 -14 tahun mencapai hampir 30 persen dari jumlah total penduduk, dan dengan menambahkan jumlah anak yang berusia antara 15 -18 tahun, jumlah anak secara keseluruhan mencapai lebih dari 1/3 jumlah total penduduk Indonesia.
Dengan jumlah yang begitu besar, peran anak menjadi penting. Di satu pihak, anak merupakan tumpuan masa depan bangsa, di lain pihak karena masih berusia muda, anak merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap berbagai masalah, seperti kesehatan, pendidikan, hukum, ketenagakerjaan, dan lain-lain.
Indonesia tidak sendirian dalam upaya melindungi anak-anak. Dalam Konvensi Hak Anak berlaku prinsip universal mengenai non-diskriminasi. Telah disepakati bahwa anak di mana pun berada harus dilindungi dari berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terlepas dari perbedaan latar belakang nasionalitas, budaya, politik kedua orangtuanya, agama atau kepercayaan, sosial ekonomi, atau jenis kelaminnya. Kebijakan negara yang baik adalah memastikan bahwa setiap anak adalah potensi yang konstruktif dan mencegah terjadinya gangguan terhadap mereka sehingga berubah menjadi sumber masalah dan biaya tinggi.
UUD 1945 dalam amandemen kedua pasal 28b (2) menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pada amandemen pasal 28c (2) juga dinyatakan bahwa “Setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya…”. Mandat konstitusi ini diterjemahkan ke dalam UU No. 23 tahun 2002 yang keseluruhannya mengakui hak-hak anak sebagaimana yang disepakati oleh masyarakat internasional melalui ratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak-hak Anak, mengatur mekanisme perlindungan anak, serta mengkriminilisasi perbuatan-perbuatan yang merugikan anak.
Di Indonesia, jenis-jenis kondisi dan situasi anak yang sangat menonjol dan segera ditangani menurut Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) adalah :
1. Pekerja anak
2. Anak yang dieksploitasi untuk tujuan seksual komersial
3. Anak yang diperdagangkan (tracfiking anak)
4. Pengungsi anak dan anak yang terlibat dalam konflik bersenjata
5. Anak tanpa akta kelahiran
6. Anak korban kekerasan (fisik dan/mental) dan perlakuan salah (Child Abuse)
7. Anak korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat aditif lainnya
8. Anak jalanan
9. Anak yang berkonflik dengan hukum
10. Anak dari kelompok minoritas
11. Anak penyandang cacat
12. Partisipasi anak
V. Perspektif Psikologis Tindakan Kekerasan Terhadap Anak
Perlakuan kejam terhadap anak-anak, Child Abuse, berkisar sejak pengabaian anak sampai kepada perkosaan dan pembunuhan. Terry E. Lawson, Psikiater anak, menyebut empat macam abuse: emotional abuse, verbal abuse, physical abuse dan sexual abuse. Anak-anak Indonesia banyak yang mengalami tepatnya, menderita keempatnya sekaligus. Satu saja dari keempat itu yang dilakukan terus-menerus akan menyebabkan anak menderita gangguan psikologis. (Rahmat, Jalaluddin. 2006 : 2)
“Emotional abuse terjadi ketika si ibu ketika mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Si ibu membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Si ibu boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Si ibu yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus menerus melakukan hal yang sama sepanjang kehidupan anak itu. (Rahmat, Jalaluddin. 2006 : 3)
Verbal abuse terjadi ketika si ibu, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk “diam” atau “jangan menangis”. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus menerus menggunakan kekerasan verbal seperti, “kamu bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, “kamu menyebalkan”,dan seterusnya. Anak akan mengingat semua kekerasan verbal jika semua kekerasan verbal itu berlangsung dalam satu periode. (Rahmat, Jalaluddin. 2006 : 3)
Physical abuse tejadi ketika si ibu memukul si anak ( ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian ). Memukul anak dengan tangan atau kayu, kulit atau logam akan diingat anak itu, jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. (Rahmat, Jalaluddin. 2006 : 3)
Sexsual abuse biasanya tidak terjadi selama delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak. Walaupun ada beberapa kasus ketika anak perempuan menderita kekerasan seksual dalam usia enam bulan. (Rahmat, Jalaluddin. 2006 : 4)
Semua tindakan kekerasan kepada anak-anak akan direkam dalam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya. Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orangtuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orangtua, akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. .
Sebagai contoh penderita sociopath atau antisocial personality disorders. Gejala kepribadian sociopath sudah tampak pada masa kanak-kanak atau remaja dini dalam perilaku seperti sering bolos, mencuri, bohong, vandalisme, bergaul dengan orang jahat, kejam pada binatang, dan prestasi sekolah yang buruk. Pada usia dewasa, orang-orang sociopath tidak dapat bertahan dalam suatu pekerjaan, tidak bertanggungjawab sebagai orangtua, suka mengganggu orang lain, senang berkelahi, biasa melakukan tindakan kekerasan kepada istri dan anak-anak, menipu, mencuri, dan mengambil hak orang lain.
Mereka tidak merasa bersalah atau gelisah karena sudah memperlakukan orang lain dengan buruk. Mereka malah selalu punya dalih untuk tindakan mereka yang buruk. Mereka tidak jera karena hukuman dan tidak tahan menghadapi godaan. Mereka tidak dapat mengendalikan emosinya, impulsive, dan tidak bertanggungjawab. Para sociopath adalah para MPO, berusaha keras menarik perhatian orang. Tetapi mereka tidak dapat membina hubungan personal yang akrab dengan siapa pun. Sosiopath tidak selalu bodoh; banyak diantara mereka yang cerdas dan berhasil secara ekonomis dan politik. Sebagian sociopath berlaku sangat agresif, suka kekerasan, beringas, dan kejam.
Penyebab utama kepribadian sosiopat adalah emotional child abuse. Pada masa kecil ia mengalami deprivasi maternal. Ia punya ibu yang tidak memperhatikannya, atau tidak memenuhi kebutuhan emosionalnya. Lebih-lebih, kalau kekerasan emosional ini ( biasanya ) ditambah dengan kekerasan verbal dan fisikal. Anak terlalu dihardik dengan omongan yang menjatuhkan harga dirinya atau dipukul dengan pukulan yang menyakitkan secara fisik. Para sociopath yang agresif banyak menderita CNS (Central Nervous System ). Penyakit yang menyebabkan orang tidak dapat mengendalikan emosinya atau tidak sanggup berpikir rasional. Trauma CNS umumnya disebabkan kekerasan fisik yang diderita anak pada waktu kecil. (Rahmat, Jalaluddin. 2006 : 5)
Walhasil, Jika kita menemukan perilaku yang sangat keji yang dilakukan pada anak-anak, kita dapat menduga dengan hampir mendekati kepastian: Para pelakunya adalah penderita sociopath atau gangguan mental lainnya. Perilaku abnormal para “ penjahat “ Itu besar kemungkinan disebabkan karena derita masa kecil yang mereka represikan tetapi tidak pernah dapat mereka lupakan. Pada saat-saat tertentu derita itu tidak tertahankan dan muncul ke alam kesadaran dalam perilaku yang menyimpang. Sekali lagi, orangtua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif.

VI. PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak
Beberapa faktor sosial yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak adalah :
1. Norma Sosial
Tidak ada kontrol sosial pada tindakan kekerasan terhadap anak-anak. Bapak yang mencambuk anaknya tidak dipersoalkan tetangganya, selama anak itu tidak meninggal atau tidak dilaporkan ke polisi. Sebagai bapak, ia melihat anaknya sebagai hak milik dia yang dapat diperlakukan sekehendak hatinya.Tidak ada aturan hukum yang melindungi anak dari perlakuan buruk orang tua atau wali atau orang dewasa lainnya.
Saya mempunyai teman satu sekolah yang kebetulan anak seorang tentara. Kegiatan di rumah diatur sesuai jadual yang ditetapkan orang tuanya. Ia harus belajar sampai menjelang tengah malam. Subuh harus bangun untuk bekerja membersihkan rumah. Bila ia itu melanggar, ia pasti ditempeleng atau dipukuli. Sang Bapak sama sekali tidak merasa bersalah. Ia beranggapan melakukan semuanya demi kebaikan anak. Mengatur anak tanpa mempertimbangkan kehendak anak dianggap sudah menjadi kewajiban orang tua.


2. Nilai-nilai Sosial
Hubungan anak dengan orang dewasa berlaku seperti hirarkhi sosial di masyarakat. Atasan tidak boleh dibantah. Aparat pemerintah harus selalu dipatuhi. Guru harus di gugu dan ditiru. Orang tua wajib ditaati. Dalam hirarkhi sosial seperti itu anak-anak berada dalam anak tangga terbawah. Guru dapat menyuruhnya untuk berlari telanjang atau push up sebanyak-banyaknya tanpa mendapat sanksi hukum. Orang tua dapat memukul anaknya pada waktu yang lama tanpa merasa bersalah. Selalu muncul pemahaman bahwa anak dianggap lebih rendah, tidak pernah dianggap mitra sehingga dalam kondisi apapun anak harus menuruti apapun kehendak orang tua. Hirarkhi sosial ini muncul karena tranformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalunya. Zaman dulu, anak diwajibkan tunduk pada orang tua, tidak boleh mendebat barang sepatahpun. Orang dewasa melihat anak-anak sebagai bakal manusia dan bukan sebagai manusia yang hak asasinya tidak boleh dilanggar.
3. Ketimpangan Sosial
Kita akan menemukan bahwa para pelaku dan juga koban kekerasan anak kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi yang rendah. Kemiskinan, yang tentu saja masalah sosial lainnya yang diakibatkan karena struktur ekonomi dan politik yang menindas, telah melahirkan subkultur kekerasan. Karena tekanan ekonomi, orang tua mengalami stress yang berkepanjangan. Ia menjadi sangat sensitif. Ia mudah marah. Kelelahan fisik tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak. Terjadilah kekerasan emosional. Pada saat tertentu bapak bisa meradang dan membentak anak di hadapan banyak orang. Terjadi kekerasan verbal. Kejengkelan yang bergabung dengan kekecewaan dapat melahirkan kekerasan fisik. Ia bisa memukuli anaknya atau memaksanya melakukan pekerjaan yang berat. Orang tua bisa menjual anaknya ke agen prostitusi karena tekanan ekonomi. Gelandangan yang diperkosa preman jalanan terpuruk ke dalam nasibnya yang getir juga karena kemiskinan.
B. Solusi untuk Mencegah Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak
1. Pendidikan dan Pengetahuan Orang Tua Yang Cukup
Dari beberapa faktor yang telah kita bahas diatas, maka perlu kita ketahui bahwa tindak kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhahap perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka. Oleh karena itu, perlu kita hentikan tindak kekerasan tersebut. Dengan pendidikan yang lebih tinggi dan pengetahuan yang cukup diharapkan orang tua mampu mendidik anaknya kearah perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan.
2. Keluarga Yang Hangat Dan Demokratis
Para psikolog terpesona dengan penelitian Harry Harlow pada tahun 60-an. Harlow memisahkan anak-anak monyet dari ibunya, kemudian ia mengamati pertumbuhannya. Monyet-monyet itu ternyata menunjukkan perilaku yang mengenaskan, selalu ketakutan, tidak dapat menyesuaikan diri dan rentan terhadap berbagai penyakit. Setelah monyet-monyet itu besar dan melahirkan bayi-bayi lagi, mereka menjadi ibu-ibu yang galak dan berbahaya. Mereka acuh tak acuh terhadap anak-anaknya dan seringkali melukainya. (Hurifah, R. 1992 : 70).
Dalam sebuah study terbukti bahwa IQ anak yang tinggal di rumah yang orangtuanya acuh tak acuh, bermusuhan dan keras, atau broken home, perkembangan IQ anak mengalami penurunan dalam masa tiga tahun. Sebaliknya anak yang tinggal di rumah yang orang tuanya penuh pengertian, bersikap hangat penuh kasih sayang dan menyisihkan waktunya untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya, menjelaskan tindakanya, memberi kesempatan anak untuk mengambil keputusan, berdialog dan diskusi, hasilnya rata-rata IQ ( bahkan Kecerdasan Emosi ) anak mengalami kenaikan sekitar 8 point.
Hasil penelitian R. Study juga membuktikan bahwa 63 % dari anak nakal pada suatu lembaga pendidikan anak-anak dilenkuen ( nakal ), berasal dari keluarga yang tidak utuh ( broken home ). Kemudian hasil penelitian K. Gottschaldt di Leipzig ( Jerman ) menyatakan bahwa 70, 8 persen dari anak-anak yang sulit di didik ternyata berasal dari keluarga yang tidak teratur, tidak utuh atau mengalami tekanan hidup yang terlampau berat. (Ahmad, Aminah . 2006 : 1).
Sebagai contoh, kasus bocah cilik yang bernama Anggi (6) seperti dikutip dari Kompas edisi 24 Januari 2006. Ia disiksa oleh ibu kandungnya karena wajahnya senantiasa mengingatkan ibunya pada suaminya yang telah meninggalkan rumah membawa seluruh harta benda.
Sejak kasus ini terkuak, Anggi berada di bawah asuhan Winarni dan Hermain. Saat pertama dibawa ke rumah pasangan itu, kondisi Anggi sangat mengenaskan. Tubuhnya penuh luka. Ia sempat menutup diri. Setiap malam ia ditemani Winarni karena sulit tidur.
Pada minggu-minggu pertama tinggal di rumah Winarni, seluruh siksaan yang diterima Anggi muncul pada tingkah lakunya. Ia sering marah, bicara kasar, memukul, menampar, sampai menginjak tubuh orang. Bahkan setiap melihat anak-anak Winarni mengambil makanan di meja, Anggi langsung meneriaki mereka “nyolong”.
Dengan kasih sayang keluarga Winarni, tingkah lakunya berubah setelah sebulan. Bahkan, Anggi mulai akrab dengan anak-anak Winarni maupun para tetangga.
3. Membangun Komunikasi Yang Efektif
Kunci persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan karena tidak adanya komunikasi yang efektif dalam sebuah keluarga. Sehingga yang muncul adalah stereotyping (stigma) dan predijuce (prasangka). Dua hal itu kemudian mengalami proses akumulasi yang kadang dibumbui intervensi pihak ketiga. Sebagai contoh kasus dua putri kandung pemilik sebuah pabrik rokok di Malang Jawa Timur. Amy Victoria Chan (10) dan Ann Jessica Chan (9) diduga jadi korban kekerasan dari ibu kandung mereka saat bermukim di Kanada. Ayahnya terlambat tahu karena sibuk mengurus bisnis di Indonesia dan hanya sesekali mengunjungi mereka. Mereka dituntut ibunya agar meraih prestasi di segala bidang sehingga waktu mereka dipenuhi kegiatan belajar dan beragam kursus seperti balet, kumon, piano dan ice skating. Jika tidak bersedia, mereka disiksa dengan segala cara. Mereka juga pernah dibiarkan berada di luar rumah saat musim dingin.(Kompas edisi 24 Januari 2006). Kejadian ini mungkin tidak terjadi jika ayahnya selalu mendampingi anak-anaknya.
Untuk menghindari kekerasan terhadap anak adalah bagaimana anggota keluarga saling berinteraksi dengan komunikasi yang efektif. Sering kita dapatkan orang tua dalam berkomunikasi terhadap anaknya disertai keinginan pribadi yang sangat dominan, dan menganggap anak sebagai hasil produksi orang tua, maka harus selalu sama dengan orang tuanya dan dapat diperlakukan apa saja.
Bermacam-macam sikap orang tua yang salah atau kurang tepat serta akibat-akibat yang mungkin ditimbulkannya antara lain :
a. Orang tua yang selalu khawatir dan selalu melindungi
Anak yang diperlakukan dengan penuh kekhawatiran, sering dilarang dan selalu melindungi, akan tumbuh menjadi anak yang penakut, tidak mempunyai kepercayaan diri, dan sulit berdiri sendiri. Dalam usaha untuk mengatasi semua akibat itu, mungkin si anak akan berontak dan justru akan berbuat sesuatu yang sangat dikhawatirkan atau dilarang orang tua. Konflik ini bisa berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak.


b. Orang tua yang terlalu menuntut
Anak yang dididik dengan tuntutan yang tinggi mungkin akan mengambil nilai-nilai yang terlalu tinggi sehingga tidak realistic. Bila anak tidak mau akan terjadi pemaksaan orang tua yang berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak seperti contoh kasus di atas.
c. Orang tua yang terlalu keras.
Anak yang diperlakukan demikian cenderung tumbuh dan berkembang menjadi anak yang penurut namun penakut. Bila anak berontak terhadap dominasi orang tuanya ia akan menjadi penentang. Konflik ini bisa berakibat terjadi kekerasan terhadap anak. (Erwin. 1990 : 31 – 32).
Marilah kita simak puisi Doroty Lan Nolte yang berjudul Children Learn What They Live yang terjemahannya sebagai berikut :
Anak anak-anak belajar dari kehidupannya
Jika anak dibesarkan dengan celaan,
Ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan
Ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan
Ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan hinaan,
Ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi,
Ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan,
Ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian,
Ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan,
Ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,
Ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan,
Ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,
Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
4. Sosialisasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada perempuan dan anak-anak merupakan masalah yang sulit di atasi. Umumnya masyarakat menganggap bahwa anggota keluarga itu milik laki-laki dan masalah kekerasan di dalam rumah tangga adalah masalah pribadi yang tidak dapat dicampuri oleh orang lain.
Sebetulnya Indonesia telah meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan Undang-Undang No. 7/1984, Undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak serta Undang-Undang No. 29 tahun 1999. (Suprapti, 2006 : 4).
Sering pejabat terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman masih banyak yang kurang memahami sehingga setiap ada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak atau Hak Azazi Manusia masih selalu mengacu pada KUH Pidana.
Oleh karena itu kita merasa sangat perlu untuk mensosialisasikan UU No. 23 Tahun 2004 tanggal 22 September 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, karena keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga agar dapat melaksanaan hak dan kewajibannya yang didasari oleh agama, perlu dikembangkan dalam membangun keutuhan rumah tangga.
Sosialisasi ini bisa melalui banyak cara antara lain penayangan iklan di televisi, melalui radio, poster, penataran, seminar dan distribusi buku UU tersebut ke masyarakat umum, akademisi, instansi pemerintah termasuk lini paling depan yaitu ibu-ibu PKK.
UU No. 23/2004 sebetulnya masih kurang memuaskan karena bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak masih merupakan delik aduan, maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian.
Penelitian membuktikan bahwa kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh orang dekat artinya orang yang dikenal oleh korban. Pelaku tindak kekerasan fisik dan seksual menurut pemantauan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat tahun 2003 adalah orang-orang terdekat yaitu tetangga, orang tua, paman, kakek, teman, pacar serta saudara. Hal ini dapat juga dilihat dari lokasi tindak kekerasan paling banyak terjadi di rumah korban atau rumah pelaku.Setidaknya ini menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang dekat dengan korban. (Pikiran Rakyat, edisi 20 Januari 2006).
5. Menghilangkan ketimpangan sosial.
Faktor yang paling dominan yang mendorong tindakan kekerasan terhadap anak adalah faktor ketimpangan sosial. Oleh Karena itu untuk menghapuskan kekerasan terhadap anak adalah menghilangkan ketimpangan sosial tersebut dengan mereformasi sistem politik dan ekonomi negeri ini. Sudah terlalu lama pemerintah mengabaikan derita lebih dari seratus juta rakyat Indonesia untuk kepentingan seratus orang pengusaha. Kenaikan BBM yang diikuti dengan kenaikan harga bahan-bahan pokok mengakibatkan beban ekonomi rakyat semakin berat.
Bantuan Tunai Langsung (BTL) mungkin merupakan salah satu solusi jangka pendek dari pemerintah. Akan tetapi pertanyaan yang muncul adalah apakah BTL tersebut dapat berlangsung terus untuk menghidupi rakyat-rakyat miskin Indonesia? Dan apakah BTL tersebut bukan malah akan mendidik mental rakyat menjadi pengemis yang justru kontra produktif ?
Menurut saya, yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah membuat kebijakan yang pro rakyat kecil seperti bantuan kredit untuk usaha dengan bunga sangat kecil untuk mendorong rakyat berusaha meningkatkan taraf hidup, pemberian dana beasiswa untuk anak-anak menyelesaikan pendidikan, pemberian dana kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kredit perumahan yang terjangkau oleh rakyat kecil.
VII. Saran
1. Segala bentuk perundang-undangan sudah ada, yang perlu dibenahi adalah ketegasan hukum dari aparat agar kekerasan terhadap anak bisa dihilangkan.
2. Ada kepedulian masyarakat sekitar untuk segera melapor ke pihak berwajib bila terdapat hal-hal yang mencurigakan di lingkungannya berkaitan dengan kekerasan terhadap anak.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

kekerasan di sekolah pada saat ini sudah demikian parah. Ketidakmampuan guru dan desakan jajaran departemen diknas untuk menjalankan program belajar brbuah kekerasan. Kebanyakn guru tidak kompeten menghajar berbasis kompetensi, namun tetap dipaksakan. Kegagalan hasil belajar dijadikan tanggungjawab murid, karena evaluasi belajar tidak dipakai untuk mengukur kemampuan guru apalagi untuk menjadi bahan dalam mengembangkan kemampuan guru. Evaluasi hasil belajar dipakai secara tidak adil kepada anak. banrangkali tgelah bergelimpangan anak-anak cerdas yang frustrasi disekolah, kemudian hilang motivasi belajar dan jadi yang sekarang disebut Nakal. Sebaliknya anak-anak yang kurang mampu mengikuti cara belajar di cap bodoh, direndahkan bukan dicari sebab kegagalan proses belajarnya.

Tidaklah berlebihan jika dikatakan sebgain besar proses disekolah menggerogoti potensi anak, mengerutkannya menjadi pendidikan kepatuhan dengan mengandalkan ancaman.

UU Perlindungan Anak, Konvensi Hak Anak dan UU Pendidikan harus disebarluaskan agar dapat digunakan para orangtua dalam membela para warganegara Indonesia yang masih muda belia dan tengah menuntut ilmu.

ARDAN SIRODJUDDIN BLOG mengatakan...

Terima kasih antar komentar anda, semoga harapan anda terkabul

 
Great HTML Templates from easytemplates.com.